Berita  

STATUS TANAH KASULTANAN DIY: DI ANTARA PENGAKUAN HUKUM DAN TUNTUTAN PENEGASAN UNDANG-UNDANG

CyberTNI.id |YOGYAKARTA — Polemik mengenai status kepemilikan tanah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat kembali mencuat ke permukaan. Sejumlah tokoh lokal, akademisi, serta pemerhati keistimewaan DIY menyuarakan pentingnya dilakukan penegasan hukum melalui revisi atau harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait keberadaan tanah Kasultanan atau yang selama ini dikenal sebagai Sultan Ground (SG).

Jumat (25/7/2025)

Desakan ini tidak muncul tanpa alasan. Di lapangan, masih banyak ditemukan ketidakjelasan mengenai identitas obyek tanah antara yang benar-benar milik institusional Kasultanan (tanah keprabon) dengan tanah milik pribadi Sultan maupun keluarganya. Ketidaktegasan batas hukum tersebut menimbulkan kebingungan dalam administrasi pertanahan dan acapkali memicu persoalan dalam pemanfaatan lahan oleh masyarakat.

Hal ini tercermin dari berbagai diskusi publik, termasuk dalam kanal digital seperti YouTube dan media sosial, di mana sejumlah pihak menyampaikan bahwa pengakuan hukum terhadap tanah-tanah Kasultanan perlu ditingkatkan menjadi bentuk penegasan yuridis yang eksplisit, serta terintegrasi dalam sistem hukum nasional.

“Perlu ada pembaruan regulasi agar ada kepastian hukum. Tanah keprabon berbeda dengan tanah pribadi Sultan, dan itu perlu diatur dengan tegas,” ujar seorang narasumber dalam salah satu tayangan video yang kini ramai dibicarakan.

Status dan Identitas Obyek Tanah SG: Persiel Sultan Ground

Salah satu akar dari kebingungan tersebut adalah tidak adanya pencatatan atau penegasan yang seragam di setiap kelurahan terkait status obyek tanah Kasultanan. Yang tercatat selama ini adalah identitas tanah sebagai Persiel SG,yaitu lahan yang merupakan milik Sultan atau Kasultanan dengan nama apapun juga, yang memiliki alas hak turun-temurun.

Status ini mengacu pada Pasal 20 Ayat (1) dan Pasal II Ayat (1) UUPA No. 5 Tahun 1960, yang menyebutkan bahwa hak milik atas tanah dapat dimiliki secara turun-temurun selama tidak dicabut oleh negara. Dalam hal ini, tanah Kasultanan atau Sultan Ground (SG) memiliki dasar hukum dari Surat Undang-Undang Negara Lembar Kerajaan Kasultanan (Rijksblad) No. 16 Tahun 1918, yang menegaskan kepemilikan pribadi Sultan atas tanah di wilayah Yogyakarta pada masa Sultan HB VII.

Istilah “Bumi Ningsun” dalam dokumen tersebut berarti “Tanah Milik Saya Sendiri” — di mana “Bumi” berarti tanah dan “Ningsun” berarti saya pribadi (Sultan HB VII). Inilah yang kemudian menjadi dasar pengakuan bahwa semua tanah SG adalah milik Sultan secara pribadi yang diturunkan sebagai hak milik ke Kasultanan, bukan semata-mata keprabon atau tanah adat belaka.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada istilah resmi seperti “Tanah Keprabon” atau “Dede Keprabon” dalam aspek hukum yang berlaku. Semuanya berada dalam satu status identitas yang disebut “Tanah Sultan” atau Sultan Ground, dan memiliki bukti sah berupa surat-surat lama (surat hak lama) sebagai dasar hukum administratif.

Dasar Hukum Keberadaan Sultan Ground (SG)

Keberadaan tanah SG sejatinya sudah memiliki pijakan hukum yang kuat. Beberapa peraturan yang menjadi rujukan antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

2. Rijksblad (Lembar Kerajaan) No. 16 Tahun 1918, yang menyebutkan tanah-tanah di wilayah Kasultanan adalah milik pribadi Sultan HB VII

3. Perda DIY No. 5 Tahun 1954, yang menegaskan eksistensi tanah Kasultanan sebagai bagian dari hak istimewa

4. Perda DIY No. 4 Tahun 1954, khususnya Penjelasan Pasal 5

Namun, meskipun payung hukum tersebut sudah ada, penjabaran eksplisit tentang pembagian antara institusi Kasultanan dan kepemilikan pribadi Sultan belum tercermin jelas dalam peraturan nasional dan lokal saat ini.

Dorongan Revisi dan Harmonisasi Regulasi

Mengingat pentingnya kepastian hukum dan tata kelola yang adil, sejumlah tokoh adat, akademisi, dan praktisi hukum mengusulkan adanya revisi terhadap perundang-undangan agraria maupun sinkronisasi perda yang relevan. Terutama mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, di mana Kasultanan dan Pakualaman diakui sebagai subjek hukum yang memiliki dan mengelola tanah keprabon maupun bukan keprabon.

Namun demikian, istilah-istilah teknis yang berbeda antara “keprabon”, “SG”, dan kepemilikan pribadi Sultan, bila tidak diatur secara rinci, justru dapat menimbulkan interpretasi yang membingungkan dalam penerapan di lapangan, termasuk dalam proses sertifikasi atau pengelolaan oleh masyarakat.

Karena itu, dibutuhkan upaya bersama lintas sektor mulai dari unsur ahli waris Sultan HB VII, BPN, Pemda DIY, hingga akademisi hukum dan budaya untuk melakukan harmonisasi regulasi demi menghindari tumpang tindih administratif serta menjaga warisan hukum dan budaya Kasultanan.

(Nang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *