HARI JUM’AT WAGE: ANTARA MITOS DAN SEJARAH BERDARAH 

CyberTNI.id| PONOROGO, Sabtu 13 September 2025 — ada sebuah keyakinan yang diwariskan turun-temurun: hari Jum’at Wage bukanlah waktu yang baik untuk bepergian jauh.

Banyak warga memilih menunggu selepas sholat Jum’at, bahkan hingga sore, baru berani melakukan perjalanan.

Sabtu (13/9/2025)

Sebagian orang menyebutnya sebagai hari nahasnya wong Ponorogo. Namun, sejarah justru mencatat dua peristiwa besar di mana masyarakat Ponorogo justru selamat dari kehancuran pada hari Jum’at Wage.

Bathoro Katong dan Ki Ageng Kutu

Cerita rakyat yang sejak lama hidup di tengah masyarakat menyebutkan, pada suatu Jum’at Wage, Bathoro Katong bersama 40 pengikutnya berhasil menahan serbuan Ki Ageng Kutu Suryongalam yang membawa 200 prajurit.

Walau masih memerlukan dukungan data historis, kisah ini menjadi simbol bahwa Ponorogo memiliki takdir khusus di hari tersebut.

1948: Bara Revolusi dan Pemberontakan PKI

Kisah kedua jauh lebih nyata dan tercatat jelas dalam sejarah.

Pada September 1948, pemberontakan PKI meletus di Madiun. Dalam waktu singkat, mereka menguasai sejumlah kota di Jawa Timur, termasuk Ponorogo. Kota ini jatuh ke tangan PKI, hingga pada 2 Oktober 1948 pasukan Republik Indonesia berhasil melakukan serangan kilat dan merebut kembali Ponorogo.

Namun, kekalahan itu tidak diterima begitu saja. PKI merencanakan serangan balasan besar-besaran. Pada Jum’at Wage, 8 Oktober 1948, mereka mengerahkan lima batalyon pasukan inti ditambah ribuan laskar pendukung. Hari itu dipilih bukan kebetulan, mereka yakin Jum’at Wage adalah hari celaka bagi orang Ponorogo.

Kesalahan Fatal Sang Kurir

Di tengah rencana besar itu, sejarah menuliskan sebuah ironi. Seorang kurir PKI yang membawa surat perintah serangan melakukan kesalahan fatal.

Surat yang seharusnya diserahkan kepada Durachman/Abdurrachman, komandan batalyon PKI, justru diberikan kepada Abdul Rachman, komandan Mobiele Brigade Besar (MBB) yang setia kepada Republik dan bermarkas di Kanten, Babadan.

Informasi ini mengubah segalanya. Pasukan MBB segera menyiapkan penghadangan di persawahan luar kota agar rakyat sipil tidak menjadi korban.

Pertempuran Panjang Sehari Semalam

Pukul 03.00 dini hari, 8 Oktober 1948, pasukan PKI mulai bergerak masuk. Pertempuran pecah dan berlangsung sengit hingga sore hari.

Di saat genting, Komandan MBB memerintahkan pasukan di bawah pimpinan Jusuf Djajengrono untuk melakukan manuver melambung dan menyerang dari belakang. Taktik ini sukses memecah konsentrasi lawan. Pasukan PKI panik, barisan mereka porak-poranda, dan melarikan diri ke arah selatan.

Namun, di sanalah ajal menanti. Dari arah barat, pasukan Divisi Siliwangi sudah datang dan menghadang. Terjepit dari dua arah, pasukan PKI hancur lebur.

Tewasnya Musso

Riak pertempuran berakhir dengan kabar besar. Musso, pimpinan PKI sekaligus tokoh sentral pemberontakan Madiun, tewas dalam baku tembak di Desa Semanding, Kauman/Sumoroto. Kematian Musso menandai berakhirnya tragedi berdarah PKI di Ponorogo.

Antara Takdir dan Keyakinan

Bagi sebagian warga, peristiwa ini menegaskan bahwa Jum’at Wage adalah hari celaka bagi musuh Ponorogo, bukan bagi warganya sendiri. Bagi kalangan santri, justru hari ini adalah hari istimewa, karena dua kali Ponorogo diselamatkan dari kehancuran besar di hari yang sama.

Mitos, kepercayaan, atau takdir—sejarah mencatat, Ponorogo tetap tegak berdiri berkat kesigapan pasukan Republik dan campur tangan Ilahi.

(Nang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *