CyberTNI.id | Cirebon , Jumat 3 Oktober 2025 — Kisruh pertanahan kembali mencuat di Kabupaten Cirebon. Kali ini, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, menjadi sorotan setelah muncul dugaan praktik mafia tanah yang kian merajalela. Tanah adat dan tanah negara yang seharusnya dilindungi, justru diduga diperjualbelikan secara ilegal dengan restu “pembiaran” aparat desa dan pihak-pihak tertentu.
Situasi semakin panas setelah salah satu ahli waris sah, yang memiliki dokumen lengkap—mulai dari bukti pembayaran pajak hingga tahun 1997, dokumen Persil dan Kohir, serta catatan IPEDA tahun 1981—mendapati tanah miliknya secara sepihak diklaim sebagai tanah negara. Ironisnya, ketika ahli waris mengajukan keberatan dan berupaya melakukan pembayaran pajak, justru dipersulit oleh pihak desa.
Padahal, jauh sebelum pengukuran dilakukan, kuasa ahli waris sempat menanyakan ke pihak desa terkait status lahan atas nama Koman Soeta Wijaya. Kepala desa dan perangkatnya kala itu menegaskan bahwa lahan di Blok 17 benar atas nama Koman Soeta Wijaya. Bahkan, setelah pengukuran resmi dilakukan, Kepala Desa menerbitkan surat keterangan desa yang menyatakan kepemilikan tersebut.
Bermodal pernyataan resmi kepala desa, pihak ahli waris pun mengeluarkan biaya pengukuran dan administrasi. Namun, ketika hendak membuka blokir dan membayar pajak, lahan itu mendadak disebut sebagai tanah negara. Jika benar tanah negara, mengapa pada dokumen IPEDA tahun 1981 lahan tersebut tercatat sebagai milik pribadi dan pajaknya rutin dibayarkan?k
Kondisi ini menimbulkan dugaan kuat adanya permainan mafia tanah. “Kalau tanah negara bisa dijual, tapi tanah adat dipersulit, jelas ada permainan kotor,” ujar salah satu tokoh masyarakat Setu Patok kepada Cyber TNI ID.
Lebih jauh, investigasi lapangan Cyber TNI ID menemukan indikasi keterlibatan pihak luar yang mengaku berasal dari Bandung dan bahkan mengklaim dekat dengan Kanwil. Mereka diduga menjadi dalang dalam jaringan mafia tanah yang saat ini menguasai Desa Setu Patok.
Parahnya lagi, tanah yang semestinya berstatus negara maupun tanah adat ahli waris sah, kini sudah berdiri bangunan megah berupa villa, kolam renang, lapangan golf, hingga perumahan mewah. Pihak desa disebut membiarkan praktik tersebut seolah tidak ada pelanggaran.
Instruksi Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan perlunya tindakan tegas terhadap mafia tanah, seakan tak digubris di level bawah. Aparat penegak hukum—mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pemerintah daerah—diminta segera turun tangan dan menindak tegas praktik ini sebelum situasi semakin liar.
Fenomena mafia tanah ternyata tak berhenti di Desa Setu Patok. Dugaan serupa kini merembet ke Desa Waru Duwur, Kecamatan Mundu. Lahan milik ahli waris sah yang sudah ditempati puluhan tahun, tiba-tiba dijual oleh pihak yang mengaku sebagai ahli waris. Tragisnya, tanah yang bernilai Rp1,5 juta per meter persegi, justru dilepas dengan harga hanya Rp500 ribu per meter—jauh di bawah NJOP yang ditetapkan pemerintah.
Kasus ini menimbulkan keresahan luas di tengah masyarakat. Pembeli yang tergiur harga murah tak memeriksa keabsahan dokumen, sementara pemilik sah dirugikan. “Ini zaman sudah gila. Tanah yang sedang berperkara pun masih bisa dijual,” kata salah seorang warga Waru Duwur dengan nada geram.
Jika praktik semacam ini dibiarkan, dikhawatirkan mafia tanah akan semakin berani menguasai aset rakyat dan negara. Pemerintah pusat dan daerah, bersama aparat penegak hukum, dituntut segera turun tangan membersihkan mafia tanah dari Cirebon.
Masyarakat berharap kasus di Desa Setu Patok dan Waru Duwur menjadi pintu masuk bagi pemberantasan mafia tanah di wilayah lain. Tanah adalah hak rakyat dan aset bangsa, bukan komoditas yang bisa diperdagangkan seenaknya oleh segelintir pihak dengan jaringan kuat.