INDAH BEKTI PERTIWI – Skandal SUAP “Uang Tunai & Endorse Sosialita”

CyberTNI.id | PONOROGO,Jumat (5/11/2025) —
Nama Indah Bekti Pertiwi dikenal sebagai selebgram dan pengusaha muda dari Ponorogo tiba-tiba meroket ke permukaan publik bukan karena konten viral atau endorse mewah, melainkan karena sebuah skandal korupsi besar.Pada operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dan sejumlah pejabat pada 7 November 2025, ditemukan uang tunai sebesar Rp 500 juta yang kemudian diyakini berasal dari proses penyuapan.

Menurut keterangan dalam konferensi pers KPK, IBP alias Indah Bekti Pertiwi diduga berperan penting dalam pencairan uang tunai itu. Dia disebut sebagai “orang kepercayaan” yang berkoordinasi dengan pegawai bank (berinisial ED) untuk mencairkan uang, lalu menyerahkannya kepada sosok kerabat Bupati (berinisial NNK), sesuai instruksi dari Sugiri.

Kalau dugaan ini terbukti, maka dunia glamor selebgram–artis muda justru dipakai sebagai kedok untuk memuluskan arus uang haram. Selebgram bukan sekadar “pemasar kecantikan” bisa jadi dia adalah “strategi pencucian sosial” untuk korupsi.

Indah Bekti Pertiwi: Dari Selebgram Jadi Kurir Uang Suap

Profil Indah menunjukkan bahwa dia bukan sekadar influencer kecil melainkan bagian dari kelas sosial yang tergolong mapan di Ponorogo.

Ia memiliki bisnis: peternakan sapi bernama “Omah Lembu” dan warung bakso dengan nama sama di Ponorogo.

Ia adalah putri dari seorang tokoh lokal dan pernah nyaris terjun ke dunia politik sempat masuk bursa calon Wakil Bupati pada Pilkada 2024.

Akun media sosialnya (Instagram) memiliki ribuan pengikut dan gaya hidup yang mewah serta modern.

Tapi sekarang, sorotan menimpa semua itu. Dari influencer, berubah status menjadi tersangka dalam pusaran suap dan korupsi besar. Bahkan setelah OTT, semua unggahan di akun Instagram-nya dihapus dan akunnya dikunci.

Gambaran ini memberikan kesan dramatis: “putri bangsawan sosialita” berubah menjadi “kurir uang haram”, menjembatani aliran dana suap ke pejabat tinggi membuat publik bertanya, seberapa dalam jaringan korupsi itu melibatkan kelas atas sosial?

Sugiri Sancoko & Mesin Korupsi Sistemik: Bukan Sekadar Suap Sampingan

Di pihak lain, Sugiri Sancoko Bupati Ponorogo bukan tokoh sembarangan. Catatan asetnya (menurut LHKPN 2024) menunjukkan kekayaan miliaran rupiah, dengan berbagai properti di Ponorogo dan luar daerah.

Namun kekayaan itu tampaknya belum cukup. Dalam penyidikan KPK, Sugiri diduga terlibat tiga klaster korupsi sekaligus:

Penyuapan untuk pengurusan jabatan – jual beli jabatan di lingkungan pemkab.

Suap terkait proyek pembangunan di RSUD dr. Harjono Ponorogo pengerjaan proyek rumah sakit, pelaksanaan proyek swasta.

Dugaan gratifikasi secara sistemik dalam lingkungan Pemkab Ponorogo penempatan orang, stilisasi proyek, hingga aliran dana secara berkala.

Penangkapan Sugiri dilakukan hanya beberapa jam setelah pelantikan 138 pejabat eselon II–IV menunjukkan bahwa praktik korupsi dan suap telah terstruktur, melekat erat dengan pengisian jabatan dan sistem pemerintahan lokal.

Dengan demikian, bukan hanya transaksi satu-dua kali ini adalah indikator korupsi sistemik, dengan jaringan elit, patronase, dan pengaturan politik lokal yang sarat dengan konflik moral.

Konflik Moral & Politik: Ketika “Sultan Sosialita” dan “Elit Politik” Berkolusi

Keterlibatan seorang selebgram seperti Indah Bekti Pertiwi bersama elit politik seperti Sugiri Sancoko membuka perspektif baru bahwa korupsi di Indonesia kini melibatkan perpaduan antara kekuasaan politik, aset kekayaan, jaringan sosial atas, dan mobilitas sosial.

Indah yang berasal dari kelas sosial atas, memiliki bisnis, calon politisi potensial bisa jadi diposisikan sebagai jembatan antara “dunia sosialita/pengusaha/politik” dan “dunia kekuasaan birokratik & korupsi”.

Artinya: korupsi tak lagi eksklusif milik birokrat atau kontraktor proyek tapi sudah merambah ke kalangan selebriti / influencer / pengusaha muda. Ini menunjukkan bahwa struktur korupsi bisa melibatkan elemen sosial populer & glamor yang sebelumnya dianggap jauh dari praktik jahat seperti suap, gratifikasi, aliran dana haram.

Kalau publik dan media tak jeli, mereka bisa jadi “kambing hitam sosialita” artinya: masyarakat akan melihat kasus ini sebagai “skandal individu” (selebgram moral rusak), padahal kasusnya adalah bagian dari sistem yang lebih besar dan kompleks.

Ancaman bagi Demokrasi & Tata Kelola Pemerintahan Lokal

Skandal ini memberi dua efek berbahaya: Normalisasi korupsi & gratifikasi: Bila selebgram bisa terlibat, maka akan banyak orang dengan mobilitas tinggi (sosial, keuangan, media) mulai melihat korupsi sebagai “bisnis yang glamor, legitim, dan bisa dibungkus sosialita”.

Erosi kepercayaan publik terhadap institusi: Ketika wakil rakyat & elit politik ditambah gadis sosialita muda sebagai “perantara” terlibat dalam korupsi, publik akan makin skeptis terhadap integritas pejabat dan “kelas atas sosialita/pengusaha muda”.

Apalagi di Ponorogo: jika benar ada jual beli jabatan, proyek fiktif, gratifikasi berkepanjangan maka pelayanan publik bisa terganggu, proyek penting seperti rumah sakit bisa jadi bancakan, dan rakyat kecil yang mestinya diuntungkan justru dirugikan.

Pertanyaan Provokatif: Apakah Kita Sedang Menyaksikan Evolusi Koruptor?

Apakah kasus ini memperlihatkan bahwa korupsi di Indonesia telah berevolusi dari koruptor tradisional (pejabat, kontraktor) ke “koruptor sosialita & influencer”?

Apakah popularitas di media sosial followers, bisnis, citra glamor kini menjadi alat legitimasinya sendiri untuk memuluskan korupsi?

Apakah penangkapan ini cukup untuk memutus rantai atau justru hanya akan membuat korupsi “bertransformasi ke mode baru” dengan wajah selebriti?

Kalau penyidikan tidak dilakukan secara menyeluruh termasuk pemeriksaan seluruh jaringan: siapa saja yang menerima keuntungan, siapa saja yang mendanai maka besar kemungkinan korupsi akan kembali, hanya dengan wajah berbeda.

Kesimpulan: Drama Moral & Korupsi di Balik Sorotan , Siapa Penikmat Keuntungan?

Kasus ini bukan sekadar skandal lokal di Ponorogo melainkan cerminan bagaimana korupsi bisa melibatkan kelas sosial mana saja, bahkan orang yang selama ini dianggap “modern, sukses, bersih, glamor”.

Indah Bekti Pertiwi dulunya hanya selebgram dan pengusaha muda kini bisa jadi simbol “korupsi generasi baru”: bukan kotornya pejabat, tapi rapi, tertata, dengan citra sosialita.

Sementara Sugiri Sancoko & kroninya menunjukkan bahwa sistem politik lokal bisa dikendalikan lewat penempatan jabatan, proyek, dan aliran dana bukan lewat visi dan pelayanan publik.

Publik berhak menuntut: bukan hanya penahanan tersangka tapi audit total terhadap semua aliran kekuasaan & dana, agar korupsi seperti ini tidak terus berulang dengan wajah yang berubah di mana elit, sosialita, dan politik bertaut dalam satu jaringan busuk.
(Nang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *