MA Yayasan Jaga Satru Diduga Menahan Ijazah Siswa Karena Tunggakan, Pakar Hukum: Melanggar Aturan Dan Bisa Dipidana

CyberTNI.id | CIREBON, Selasa 21 Oktober 2025 — Dugaan praktik penahanan ijazah oleh pihak Madrasah Aliyah (MA) Yayasan Jaga Satru, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, menuai sorotan tajam. Tindakan tersebut dilakukan dengan dalih adanya tunggakan biaya pendidikan dari wali murid.

Berdasarkan penelusuran tim Intelijen CyberTNI.id, sejumlah alumni MA tersebut mengaku tidak dapat mengambil ijazah mereka meski telah lulus. Salah satu wali murid menyampaikan bahwa pihak sekolah menolak menyerahkan ijazah sebelum seluruh tunggakan dilunasi, meskipun anaknya sangat membutuhkan dokumen tersebut untuk melamar pekerjaan.

Padahal, ijazah merupakan hak mutlak siswa setelah menyelesaikan pendidikan, dan menjadi syarat utama untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau bekerja secara formal.

Bendahara Sekolah: “Surat Edaran Gubernur Tidak Berlaku untuk MA”

Saat dikonfirmasi langsung oleh Intelijen CyberTNI.id pada Selasa (21/10/2025), bendahara MA Yayasan Jaga Satru membenarkan adanya kebijakan penahanan ijazah tersebut. Ia beralasan bahwa surat edaran Gubernur Jawa Barat tentang larangan menahan ijazah tidak berlaku untuk lembaga di bawah Kementerian Agama (Kemenag).

“Kami mengikuti aturan dari Kementerian Agama, bukan Dinas Pendidikan. Jadi surat edaran Gubernur itu tidak berlaku di sini,” ujar bendahara sekolah saat ditemui di kantor MA Setu Patok.

Pernyataan tersebut menimbulkan polemik, sebab secara prinsip, larangan penahanan ijazah merupakan kebijakan nasional yang mengikat seluruh satuan pendidikan di Indonesia, baik di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) maupun Kemenag.

Regulasi Pemerintah: Penahanan Ijazah Dilarang Secara Tegas

Larangan menahan ijazah dengan alasan tunggakan biaya telah diatur secara tegas dalam berbagai peraturan pemerintah.

Salah satunya tertuang dalam Permendikbud Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah dan Satuan Pendidikan. Pasal-pasal dalam regulasi tersebut menegaskan bahwa ijazah diberikan kepada peserta didik yang telah menyelesaikan proses pendidikan tanpa syarat tambahan apapun.

Selain itu, Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2020 memperkuat ketentuan tersebut, menyebutkan bahwa satuan pendidikan dilarang menahan ijazah dengan alasan apapun, termasuk karena belum melunasi biaya administrasi atau tunggakan lainnya.

Tindakan penahanan ijazah tidak hanya melanggar asas keadilan dan hak asasi peserta didik, tetapi juga berpotensi menimbulkan sanksi hukum administratif dan pidana.

Ahli Hukum Pendidikan: “Sekolah Dapat Dijerat Pasal 372 KUHP”

Menurut Dr. H. Mahfudz Arif, S.H., M.H., pengamat hukum pendidikan dari Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Cirebon, penahanan ijazah oleh pihak sekolah dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum.

“Sekolah tidak berhak menahan ijazah karena itu adalah hak milik pribadi siswa setelah lulus. Bila dilakukan dengan alasan tunggakan, maka dapat diindikasikan sebagai bentuk penggelapan dokumen (Pasal 372 KUHP) dengan ancaman pidana hingga empat tahun penjara,” ujarnya.

Lebih lanjut, Mahfudz menegaskan bahwa lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama tetap terikat dengan prinsip hukum nasional, sehingga alasan ‘beda kementerian’ tidak dapat dijadikan pembenaran.

“Peraturan Gubernur maupun Permendikbud itu bersumber dari kebijakan nasional. Jadi berlaku untuk semua lembaga pendidikan formal di wilayah Indonesia, termasuk madrasah,” tambahnya.

Dampak Sosial dan Pelanggaran Hak Siswa

Praktik penahanan ijazah seperti ini dinilai dapat menghambat masa depan generasi muda, terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Banyak lulusan yang akhirnya tidak bisa melanjutkan kuliah atau bekerja, karena tidak memiliki dokumen resmi kelulusan.

Pemerhati pendidikan, Lembaga Advokasi Rakyat Pendidikan (LARP), menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk diskriminasi dan penyalahgunaan wewenang lembaga pendidikan.

“Ijazah bukan alat penekan. Sekolah seharusnya mencari solusi lain untuk penagihan tunggakan, bukan dengan menahan hak anak bangsa,” tegas Koordinator LARP, Suryana Adipratama.

Potensi Sanksi bagi Sekolah Pelanggar

Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, sekolah yang terbukti menahan ijazah dapat dikenai:

1. Sanksi Administratif – berupa teguran, pembinaan, hingga rotasi atau pencopotan jabatan kepala sekolah.

2. Sanksi Pidana – sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP tentang penggelapan barang milik orang lain, dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara atau denda.

3. Sanksi Etik dan Disiplin ASN – apabila pejabat yang terlibat adalah aparatur sipil negara di bawah Kemenag.

Penegasan: Pemerintah Harus Bertindak Tegas

Kasus seperti ini menunjukkan lemahnya pengawasan internal Kementerian Agama terhadap lembaga pendidikan di bawahnya. Padahal, pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kemenag telah berulang kali mengingatkan bahwa ijazah bukan alat tukar atau jaminan hutang.

Pemerintah diharapkan segera menindaklanjuti laporan masyarakat terkait MA Yayasan Jaga Satru agar ada efek jera bagi sekolah lain yang masih melakukan praktik serupa.

Sebagai penutup, kasus ini menjadi cermin buram dunia pendidikan, di mana hak dasar siswa dikorbankan demi kepentingan administrasi dan keuangan sekolah. Hukum harus hadir untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapatkan hak pendidikan yang utuh, termasuk hak atas ijazah tanpa diskriminasi.(Adam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *