CyberTNI.id | JAKARTA, Jumat (5/12/2025) —Kementerian Pertanian (Kementan) untuk memperluas lahan kopi nasional hingga 99.500 hektar pada tahun 2026 ternyata benar adanya.
Informasi ini berasal dari pernyataan resmi Plt Dirjen Perkebunan Kementan, Abdul Roni Angkat, yang disampaikan dalam beberapa konferensi pers.
Program ini akan dibiayai melalui Anggaran Belanja Tambahan (ABT) senilai Rp1,315 triliun, dengan rincian Rp289 miliar dialokasikan pada tahun 2025 dan sisanya, yaitu Rp1,025 triliun, pada tahun 2026.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mendorong peningkatan produktivitas kopi nasional, memperkuat sektor perkebunan, serta menciptakan rantai produksi yang lebih efisien dan terintegrasi dari hulu ke hilir.
Rencana besar ini tidak berdiri sendiri. Kementan menggandeng Starbucks dalam sebuah program bernama TEKAD, yang bertujuan untuk memperkuat ekosistem kopi nasional.
Melalui kerja sama ini, akan dilakukan distribusi bibit unggul, pelatihan agronomi untuk petani, dan pengembangan kawasan kopi berbasis pada praktik pertanian berkelanjutan. Starbucks sendiri telah menyatakan komitmennya untuk menebar satu juta bibit kopi unggul dan melatih 200 agronomis lokal di Indonesia.
Dengan keterlibatan pemain global seperti Starbucks, diharapkan kualitas dan daya saing kopi Indonesia di pasar internasional dapat ditingkatkan, sekaligus membuka peluang ekspor dan memperkuat nilai tambah produk kopi di tingkat lokal.
Sebaran program ini cukup luas. Lahan-lahan yang akan dikembangkan tersebar di hampir seluruh provinsi penghasil kopi, seperti Aceh dan Sumatera Utara di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur di Pulau Jawa, serta daerah lain seperti Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Sulawesi, hingga Papua.
Rencana ini menandakan keseriusan pemerintah dalam membangun sektor kopi sebagai komoditas unggulan nasional. Namun, rencana sebesar ini juga perlu dikritisi secara mendalam agar tidak menimbulkan masalah di masa depan, baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi.
Salah satu potensi masalah utama adalah risiko deforestasi. Perluasan lahan hingga hampir 100 ribu hektare tentu menimbulkan pertanyaan besar, dari mana lahan sebanyak itu akan diperoleh? Jika lahan yang dimaksud merupakan kawasan hutan, maka program ini bisa berdampak serius terhadap kerusakan lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan terganggunya ekosistem lokal. Hingga saat ini, belum ada penjelasan detail dari Kementan mengenai status lahan-lahan yang akan dikembangkan.
Apakah itu lahan tidur, bekas perkebunan yang tidak produktif, atau bahkan kawasan yang masih memiliki fungsi lindung? Tanpa transparansi terkait lokasi dan status lahan, maka kekhawatiran akan dampak ekologis bukanlah hal yang berlebihan.
Selain isu lingkungan, aspek sosial juga penting untuk diperhatikan. Jika perluasan ini melibatkan sistem kebun skala besar yang dimiliki oleh korporasi, maka potensi marginalisasi petani kecil tidak bisa dihindarkan. Banyak program pertanian besar sebelumnya yang secara tidak langsung menggusur peran petani lokal dan mengubah mereka menjadi pekerja di kebun milik perusahaan. Kementan memang menyebutkan adanya edukasi dan pemberdayaan petani, namun sejauh mana distribusi keuntungan akan berpihak kepada mereka masih menjadi pertanyaan. Program besar seperti ini semestinya dirancang dengan skema yang menjamin kepemilikan lahan dan hasil panen tetap berada di tangan petani, bukan justru menguntungkan pemain besar saja.
Masalah lain yang patut dicermati adalah bagaimana program ini dikelola agar tidak menciptakan overproduksi. Ketika lahan bertambah signifikan dan hasil panen meningkat drastis, risiko kelebihan pasokan (oversupply) bisa terjadi. Bila tidak dibarengi dengan pembukaan akses pasar dan sistem distribusi yang kuat, maka harga jual kopi bisa jatuh, terutama di tingkat petani. Kondisi seperti ini sering terjadi pada banyak komoditas pertanian di Indonesia, produksi naik, tapi petani tetap rugi karena pasar tidak siap menyerap hasil. Meski kerjasama dengan Starbucks bisa menjadi solusi jangka pendek, ketergantungan pada satu atau dua pembeli besar sangat berisiko jika kontrak kerja sama berubah sewaktu-waktu.
Dari sisi teknis, perluasan lahan juga perlu diiringi dengan praktik agronomi yang benar. Jika pendekatan budidaya hanya fokus pada peningkatan produksi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan, maka akan muncul masalah baru seperti degradasi tanah, polusi akibat pupuk kimia dan pestisida, serta tekanan terhadap sumber daya air. Apalagi banyak wilayah yang disebut sebagai target program ini memiliki iklim kering dan rentan kekeringan musiman. Tanpa perencanaan yang matang, pengelolaan air dan nutrisi tanah bisa menjadi tantangan besar. Dalam konteks perubahan iklim global, proyek-proyek ekstensifikasi pertanian justru bisa berbalik menjadi bumerang bila tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan.
Kritik lain juga bisa diarahkan pada potensi ketergantungan terhadap perusahaan multinasional. Dalam hal ini, keterlibatan Starbucks memang membawa sisi positif seperti modal, teknologi, dan akses pasar. Namun, dominasi perusahaan global juga menyimpan risiko tersendiri.
Jika tidak diatur dengan prinsip keadilan perdagangan (fair trade), maka posisi tawar petani bisa lemah. Segala nilai tambah dari proses produksi, dari bibit sampai ke gelas kopi konsumen, bisa saja lebih banyak dinikmati oleh korporasi besar dibanding pelaku lokal. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk merancang kontrak kerja sama yang menguntungkan petani dan menjamin distribusi keuntungan secara merata.
Secara umum, program perluasan lahan kopi nasional ini memiliki potensi besar untuk mendongkrak sektor pertanian, memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan nilai ekspor. Namun, dampak negatifnya juga tidak bisa diabaikan. Program seperti ini tidak cukup hanya dengan target kuantitatif dan semangat optimisme di media. Dibutuhkan pengawasan publik, transparansi data, dan partisipasi petani lokal agar hasil akhirnya benar-benar berpihak pada rakyat. Kalau tidak, program ambisius ini berisiko menjadi sekadar proyek anggaran besar tanpa dampak riil bagi kesejahteraan petani atau keberlanjutan lingkungan.
yang layak diajukan bukan hanya berapa luas lahan yang berhasil ditanami. tapi juga siapa yang mendapat manfaat paling besar dari proyek ini.
Jika jawabannya bukan petani, bukan masyarakat lokal, dan bukan lingkungan, maka program ini layak untuk dikaji ulang sebelum terlalu jauh melangkah. Kita semua tentu berharap kopi Indonesia bisa mendunia, tapi bukan dengan mengorbankan hutan, menyingkirkan petani kecil, atau membiarkan alam rusak atas nama produktivitas. Karena pada akhirnya, kopi yang enak itu berasal dari tanah yang sehat, tangan petani yang sejahtera, dan kebijakan yang adil.
(Nang)












