CyberTNI.id | CIREBON, Jumat 5 September 2025— Polemik mencuat di Kota Cirebon pasca diterbitkannya Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Tunjangan Perumahan dan Transportasi bagi Pimpinan serta Anggota DPRD. Kebijakan yang ditandatangani Walikota Cirebon, Effendi Edo, itu dinilai sarat pemborosan anggaran dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat luas.
H. Suryana, salah satu tokoh masyarakat sekaligus mantan Ketua DPRD Kota Cirebon, akhirnya angkat suara. Ia menilai pemberian tunjangan fantastis di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih lesu, justru memperlihatkan lemahnya kepekaan pemerintah daerah terhadap kesulitan rakyat.
> “Di saat ekonomi masyarakat sangat lemah, Walikota justru mengeluarkan kebijakan yang melukai hati rakyat. Bagaimana tidak, hanya untuk tunjangan perumahan dan transportasi DPRD saja bisa menghabiskan lebih dari Rp2,4 miliar setiap bulan. Bukankah ini sebuah pemborosan yang mencolok?” tegas Suryana.
Rincian Tunjangan “Super Mewah”
Berdasarkan Perwali tersebut, Pasal 18 mengatur tentang Tunjangan Perumahan, yang diberikan dalam bentuk uang tunai setiap bulan. Dengan rincian:
- Ketua DPRD: Rp52.941.176 per bulan.
- Wakil Ketua DPRD: Rp48.235.294 per orang per bulan.
- Anggota DPRD: Rp45.882.353 per orang per bulan.
Sementara pada Pasal 23, diatur Tunjangan Transportasi dengan jumlah yang juga tidak kalah besar:
- Ketua DPRD: Rp29.411.765 per bulan.
- Wakil Ketua DPRD: Rp27.058.824 per orang per bulan.
- Anggota DPRD: Rp23.529.412 per orang per bulan.
Total akumulasi dana untuk tunjangan perumahan dan transportasi tersebut mencapai kisaran Rp2,4 miliar per bulan atau sekitar Rp28,8 miliar per tahun.

Suryana menilai, angka sebesar itu sangat tidak sejalan dengan kondisi fiskal dan ekonomi daerah. Apalagi tunjangan ini masih di luar berbagai fasilitas lain yang sudah diterima pimpinan dan anggota DPRD, seperti uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, paket jabatan, tunjangan alat kelengkapan, tunjangan komunikasi, intensif, hingga tunjangan reses.
Potensi Kecemburuan Sosial
Lebih jauh, Suryana memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi menciptakan kecemburuan sosial yang akut. Sebab, di satu sisi rakyat banyak masih berjuang keras dengan beban ekonomi, sementara di sisi lain para pejabat publik justru menikmati “kenyamanan” dengan fasilitas tunjangan berlapis.
“Eksekutif dan legislatif jangan sampai dianggap mati rasa. Jangan sampai masyarakat menilai pemerintah daerah hanya memikirkan dirinya sendiri dan melupakan kewajiban melayani rakyat,” ujarnya.
Alternatif Program Pro Rakyat
Dalam pandangan Suryana, efisiensi anggaran bukan berarti pemangkasan semata, melainkan mengalihkan dana ke pos yang lebih produktif dan tepat sasaran. Ia memberikan contoh sederhana: jika Rp2,4 miliar per bulan itu dialokasikan untuk program bantuan beras, maka lebih dari 12 ribu kepala keluarga kurang mampu bisa mendapatkan masing-masing 15 kilogram beras setiap bulannya.
“Bandingkan dengan tunjangan yang hanya dinikmati segelintir orang. Mana yang lebih mulia? Tentu jika uang itu digunakan untuk rakyat kecil, dampaknya jauh lebih nyata,” tegasnya.
Publik Tunggu Sikap Walikota
Kritik keras yang disampaikan Suryana mencerminkan keresahan masyarakat atas arah kebijakan Walikota Effendi Edo. Publik kini menanti apakah Walikota berani mengevaluasi bahkan merevisi Perwali yang dinilai kontroversial ini.
Bagi masyarakat Cirebon, kepemimpinan sejati bukanlah tentang memberi kenyamanan bagi pejabat, melainkan menghadirkan kebijakan yang benar-benar pro rakyat.
“Walikota harus mengingat bahwa jabatan hanyalah amanah. Jangan sampai rakyat menilai beliau lebih berpihak pada kenyamanan elite politik daripada penderitaan masyarakat kecil,” tutup Suryana.
Red_team












