CyberTNI.id |JAKARTA, Sabtu (16/8/2025) — Proyek ambisius Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh yang dibangun sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kini mulai memunculkan konsekuensi berat terhadap keuangan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terlibat.
Proyek prestisius yang sempat digadang-gadang sebagai tonggak kemajuan transportasi modern di Indonesia ini, kini berubah menjadi beban finansial dengan kerugian mencapai triliunan rupiah.
Proyek KCJB yang dimulai pada tahun 2016 itu awalnya diperkirakan menelan anggaran sebesar Rp 86,67 triliun.
Namun, seiring perjalanan waktu, biaya pembangunan mengalami lonjakan tajam.
Berdasarkan hasil audit bersama yang disepakati Indonesia dan Tiongkok, total biaya kini membengkak menjadi sekitar US\$7,27 miliar atau Rp112 triliun (dengan asumsi kurs saat ini), yang berarti terdapat cost overrun sekitar Rp18 triliun dari rencana awal.
Pendanaan proyek ini sebagian besar bersumber dari pinjaman China Development Bank (CDB).
Sementara itu, sisanya didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan investasi dari konsorsium perusahaan patungan Indonesia dan China di bawah bendera PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Namun, setelah proyek resmi beroperasi, kereta cepat Whoosh justru terus mencatat kerugian besar.
Empat BUMN Indonesia yang tergabung dalam konsorsium harus menanggung kerugian operasional serta beban bunga utang yang tinggi.
Salah satu entitas utama, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PT PSBI) yang merupakan perusahaan patungan BUMN Indonesia, mencatatkan kerugian bersih sebesar Rp4,195 triliun sepanjang tahun 2024.
Kerugian tersebut berlanjut hingga tahun 2025, dengan nilai rugi sebesar Rp1,625 triliun per Juni 2025.
Dampak kerugian ini paling dirasakan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, yang memegang 58,53 persen saham di PT PSBI. Pada semester pertama 2025, KAI harus ikut menanggung rugi sebesar Rp951,48 miliar.
Bahkan pada tahun 2024, kerugian yang ditanggung KAI akibat proyek ini mencapai Rp2,23 triliun.
Kondisi ini menempatkan KAI dalam situasi finansial yang berat, padahal perusahaan tersebut merupakan tulang punggung layanan kereta api nasional.
Ditugasi pemerintah untuk memimpin konsorsium BUMN di proyek kereta cepat, keuangan KAI justru terguncang oleh besarnya beban utang dan kerugian dari proyek yang dianggap strategis nasional ini.
Melihat kondisi yang semakin membebani keuangan negara dan BUMN, pemerintah pun mulai mencari solusi jangka panjang.
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) tengah menyiapkan rencana restrukturisasi utang atas proyek KCJB.
CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani, mengatakan bahwa evaluasi menyeluruh sedang dilakukan agar solusi yang ditawarkan tidak hanya bersifat menunda masalah.
(Nang)