Ramaparasu: Ksatria dalam Panggung Takdir dan Ironi Kehidupan

CyberTNI.id| BANYUWANGI,Sabtu (22/11/2025) —Dunia bukan hanya panggung perjuangan bertahan hidup, tetapi juga panggung politik dan peperangan.

Para Ksatria entah dalam makna baik atau buruk termasuk para raja dan senapati perang, berada dalam situasi sulit.

Mereka bisa kalah dan menang kapan saja. Mereka bersiasat. Dalam perseteruan selalu muncul momen kesetiaan, cinta, pengorbanan, kemuliaan, juga fitnah, pengkhianatan, kebencian, penghinaan, ejekan, amarah hingga ketika konflik tak bisa diselesaikan dengan cara-cara damai, peperangan pun terjadi. Konflik kerap menyeret-nyeret kasta brahmana, waisya, hingga kasta sudra. Dunia ksatria adalah dunia ironi: untuk menjaga perdamaian, mereka harus selalu siap berperang.

Dunia seakan ditakdirkan selalu demikian. Satu ksatria hilang, muncul ribuan lagi. Melalui tangan-tangan mereka Sang Hyang Tunggal menata pergolakan dan sejarah dunia. Tak ada kemenangan abadi, pun tak ada kekalahan abadi.

Sebagian yang muak memilih atau dipaksa menyepi, menjaga keseimbangan dengan cara-cara yang tak kelihatan — para Resi, Brahmana dan Pendeta. Namun dalam diri para resi pun terjadi pergolakan, terutama ketika mereka entah bagaimana, dengan sadar atau tidak, ikut terseret dalam pertarungan kekuasaan.

Dalam suatu lakon wayang, dikisahkan Resi Gotama, Resi Wisrawa, Resi Jamadagni, Resi Suwandagni, yang sudah menjauhi persoalan kekuasaan dan hiruk-pikuk dunia, seperti dipaksa oleh takdir untuk masuk dan terseret dalam pusaran konflik kekuasaan yang semakin panas, meski mereka sebenarnya tak mau. Di satu sisi, ada drama kekuasaan, dan di sisi lain, terjadi peristiwa Tragedi Serat Sastra Jendera, kitab yang memuat pelajaran suci dan agung, yang karena suatu hal, justru ikut menyebabkan lahirnya anak-anak yang sangat berbahaya bagi kedamaian dunia, terutama anak yang sulung: Dasamuka. Demi kedamaian dunia, para resi mau tak mau ikut tercebur dalam pusat konflik.

Sementara itu, di waktu yang hampir sama, seorang ksatria berdarah Brahmana menyadari bahwa konflik terus berulang dari zaman ke zaman, hanya beda bentuk saja.

Dan ketika konflik makin tak terkendali, yang membuat keluarganya binasa: ayahnya, mantan raja yang telah menjadi resi, dibunuh oleh raja penggantinya. Maka ksatria itu murka. Dia mengangkat kapak besarnya, memprotes situasi dan kelakuan para ksatria – padahal dirinya juga seorang ksatria. Ia bersumpah akan menghabisi semua para ksatria di muka bumi, agar tercipta perdamaian.

Dia adalah Ramaparasu, atau Parasurama, ksatria yang kesaktiannya nyaris tiada lawan: dia pernah bertarung dengan Dewa Wisnu, dan membuat Wisnu kewalahan dan berhasil melukai dahi sang dewa. Maka dia menerima anugerah – yang juga bisa dianggap kutukan – bahwa Ramaparasu tak akan mati kecuali di tangan titisan Dewa Wisnu.

Lalu dikisahkan dia berjalan dari satu kerajaan ke kerajaan di seluruh dunia demi sumpahnya.

Dunia ksatria menjadi muram dan menakutkan. Para raja dan senapati hidup dalam kecemasan, mereka seperti sudah dipastikan tinggal menunggu giliran untuk dihabisi oleh Ramaparasu.

Tetapi meski sudah tak terhitung jumlahnya ksatria yang dihabisi dengan kapaknya, ksatria selalu ada dan bermunculan dari waktu ke waktu, tak ada habisnya.

Setelah puluhan tahun mengembara menghabisi para ksatria, Ramaparasu pun letih. Dia pun bertanya-tanya: apa maunya Dalang Penguasa Jagat Raya dengan menggelar pertarungan dan konflik wayang-wayang-Nya di muka bumi melalui para ksatria yang terus ditumbuhkan-Nya? Ramaparasu lelah, lalu mencari mati: karena dirinya hanya bisa mati di tangan titisan Dewa Wisnu, ia mencari-cari titisan itu. Dia lalu tahu Wisnu menitis ke Prabu Arjunasasrabahu. Dia menantang duel sang titisan Wisnu.

Namun yang terjadi mengecewakan dirinya: Prabu Arjunasasrabahu justru tewas ditangannya.

Ramaparasu merasa menang tetapi sekaligus kalah. Kekecewaanya begitu besar, tapi dia tahu tak bisa mengubah nasib yang telah terjadi. Lalu ia diberi tahu bahwa sebenarnya saat itu dirinyalah titisan Wisnu pada masanya, karena Arjunasasrabahu telah melakukan kekeliruan fatal yang menyebabkan Wisnu keluar dari tubuhnya. Ramaparasu kecewa besar merasa dibodohi Wisnu.

Namun kemarahannya dan kekecewaannya tak mengubah apapun. Dia pun mulai pasrah. Dan pada momen kepasrahan itu, ia akhirnya bertemu dengan “dirinya sendiri” dan diberi tahu bahwa “Tarian Syiwa tak akan berhenti, tarian kehancuran dan pembangunan, tarian kematian dan kehidupan.” Ramaparasu tercerahkan dan menjadi resi, dengan tugas yang nbaru. Kelak, saat tugasnya selesai, Wisnu pun keluar dari tubuh Ramaparasu dan menitis ke Prabu Ramawijaya.

Ramaparasu, tokoh tragis yang belajar arti menang dan kalah dalam pagelaran jagat raya, kini memandang dunia dengan cara berbeda.

Mereka yang kalah atau menderita hanya kalah pada saat ia ditentukan kalah atau menderita, dan menang saat ditetapkan menang atau senang. Kekalahan dan kemenangan, penderitaan dan kesenangan dunia, menjadi tak berarti bagi Ramaparasu setelah ia memahami bahwa yang penting di balik jatuh-bangunnya seseorang, suka dan dukanya, dan kekisruhan dunia, adalah apakah ia mampu mengambil pelajaran dari pengalamannya untuk kebaikan dirinya, keluarga dan orang-orang di sekitarnya semampu yang bisa dijangkau.

(Nang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *