CyberTNI.id | YOGYAKARTA — SETON atau SETU-AN berasal dari akar kata “Setu” (maksudnya hari Sabtu) ditambah akhiran “an”. Setuan atau Seton berarti kegiatan di hari Sabtu, Sabtu-an.
Budaya Jawa memang adiluhung, di dalamnya ada filosofi penuh dengan makna dan nasihat, bagaimana sikap yang baik dan selalu mawas diri, mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari pergaulannya dengan orang lain.
Jumat (1/8/2025)
Wujud kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sosialnya adalah dengan berbagi nasihat. Satu contoh nasihat ini ada dalam ungkapan peribahasa: “BELO MELU SETON”.
Belo adalah istilah anak kuda yang masih kecil. Sedangkan Seton itu artinya Setu-an atau dalam bahasa Indonesia adalah kegiatan yang dilakukan pada hari Sabtu (Setu = Sabtu, red). Artinya, anak kuda yang ikut-ikutan induknya saat latihan rutin, yang digelar pada setiap hari Sabtu. Anak kuda ini selalu mengikuti induknya kemana pun pergi, walaupun induknya sedang mengikuti latihan keprajuritan di Keraton pada setiap hari Sabtu.
Latihan keprajuritan dengan menggunakan Kuda Betina maupun Jantan itu dilakukan setiap hari Sabtu, di dalam Keraton. Dan, munculah istilah Seton (Setu-an) atau dalam bahasa Indonesia Sabtu-an yang berarti setiap hari Sabtu. Pada zaman kerajaan Mataram dahulu, hari Sabtu adalah hari untuk melakukan latihan perang keprajuritan.
Adakalanya kuda-kuda betina yang dipakai itu memiliki anak yang masih kecil atau Belo. Tentunya harus dibawa serta kalau induknya latihan, karena Belo tersebut masih menyusu ke induknya. Jadi ketika induknya latihan maka si Belo ini ikut berlarian mengikuti induknya. Orang Jawa menyebutnya melu-meluan tok, atau ikut-ikutan saja tanpa tahu apa sebenarnya yang dia lakukan. Belo ini bukan merupakan bagian dari acara induknya, bukan bagian dari acara Keraton, walaupun dia ikut berlarian di sana.
MAKNA FILOSOFI “BELO MELU SETON”
Dalam budaya Jawa, “BELO MELU SETON” ini juga bermakna sindiran bagi orang-orang yang kerjanya hanya ikut-ikutan saja, tidak tahu apa tujuannya, hanya mendompleng orang lain, dan tanpa punya andil apa pun dalam kegiatan yang ada itu, selain hanya ikutan ramai-ramai saja.
SEJARAH TRADISI SETON / SETU-AN
TRADISI SETON SETIAP SABTU SORE DI MATARAM
Sebagaimana termaktub dalam Berita dari utusan Belanda yang berkunjung ke Mataram Karta, juga di dalam catatan Babad, ternyata Setu atau Sabtu adalah hari yang khusus, di samping Senen, Kemis dan Jumangad.
Ada banyak nama kegiatan ini yaitu Seton, Sodoran atau Watangan, yaitu kegiatan latihan perang tombak yang dilakukan dengan menggunakan tongkat. Ujung tongkatnya diberi lapisan kain relatif tebal dan diberi hiasan. Lapisan kain di ujung tongkat (watang) diperlukan, agar orang yang tersodok watang atau sodor tidak terluka.
Latihan perang tombak ini dilakukan di atas kuda dan dilakukan oleh dua orang yang saling berhadapan sambil membawa sodor di atas punggung kuda pada jarak tertentu. Setelah aba-aba, keduanya melecut kudanya dan saling berhadapan untuk saling menjatuhkan lawan dari atas punggung kudanya.
Lawan yang jatuh dari kuda karena sodokan sodor dinyatakan sebagai yang kalah dan orang yang berhasil menjatuhkan dinyatakan sebagai pemenang. Untuk itulah kelihaian menunggang kuda dan bermain tongkat (sodor), yang panjangnya sekitar 3 – 3,5 meter, menjadi modal utama dalam latihan keprajuritan perang ini.
Di Mataram, acara seton merupakan acara resmi negara, dilaksanakan di Alun-Alun Utara. Pasamuan Watangan adalah syarat keberadaan Raja dan Negara Mataram.
Sejarahnya, tradisi ini pun telah dilakukan oleh kerajaan lama seperti Majapahit, dan bahkan diwarisi oleh kerajaan Islam, sejak Panembahan Senopati mendirikan Mataram Islam di Kotagede.
Pada tahun 1536 dengan sengkalan “Karengga Tri Wisiking Janma” Kanjeng Panembahan Senapati, raja Mataram berkenan membuat gamelan Monggang Patalon yang berlaraskan Slendro. Digunakan sebagai gamelan kehormatan setiap keluarnya prajurit watang berlatih perang, pada setiap hari Sabtu. Gamelan Gangsa Patalon tersebut dinamakan Kanjeng Kyai Singakrura, lalu dibuatkanlah gendhing untuk memeriahkan Watangan Seton.
Biasanya acara Seton dilanjutkan dengan acara “Rampogan”. Yaitu pertunjukan adu harimau (sima) dengan banteng (mahesa), yang diadakan pada hari-hari tertentu, termasuk untuk menyambut para pembesar Belanda.
SETON DI KRATON MATARAM KARTA (ZAMAN SULTAN AGUNG – 1613 )
Kehidupan dalam istana berlangsung menurut aturan tertentu. Pada hari Sabtu sore, prajurit diwajibkan harus tampil di alun-alun dengan menaiki kuda untuk ikut serta dalam permainan tombak atau watangan. Bila tidak hadir, mereka kehilangan tikar lantai atau tanda kebesaran dan akan mendapat hukuman lain. Yang tidak hadir hampir selalu diketahui karena Raja memperhatikannya secara cermat.
SETON DI KRATON SURAKARTA
Di Solo atau Surakarta, acara Seton dimulai dengan Watangan dan diakhiri dengan Rampogan Sima, di mana prajurit Kasunanan dilengkapi tombak membentuk lingkaran, mengelilingi Harimau dan secara bersama-sama menombak sehingga membunuh harimau tersebut.
Kadang-kadang diselenggarakan juga laga Sima – Mahesa yaitu pertandingan harimau melawan banteng. Harimau adalah perlambang Belanda sedangkan banteng adalah perlambang pribumi Jawa. Bahkan Pakubuwana IV pernah menyelenggarakan laga ini untuk Gubernur Pesisir, Greeve sebagai perlambang perlawanan.
Tradisi Watangan atau Seton dihentikan pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1830~1858) di Surakarta.
SETON DI KRATON YOGYAKARTA
Kagungan dalem pasowanan terletak di alun-alun utara melingkar disebut Bale Watangan atau pekapalan. Tempat pasowanan Abdi dalem Nayaka Wolu untuk tempat menunggu saat sowan pada Pasamuan Watang di hari Sabtu, termasuk juga semua bawahan Abdi dalem, Bupati penewu mantri. Kuda para bupati Nayaka dan semua bawahannya ditempatkan di sekitar tempat Penantian atau peristirahatan masing-masing di kiri kanan atau pun depan alun-alun, sehingga tempat ini dikenal sebagai Pekapalan dan Pasowanan Watang.
Di bagian Timur Selatan, Tenggara alun-alun Utara terdapat Gedhong Pamonggangan yang bentuk bangunannya sama dengan Bangsal pasangan, yang berjajar ke utara, hanya saja pada gedung Pamonggangan diberi pagar bata seperti Pacikeran.
Gedhong Pamonggangan ini adalah tempat gamelan Kanjeng Kyai Monggang atau Kanjeng Kyai Denggung Banten, dipajang pada saat Pasamuan Watangan pada setiap hari Sabtu atau Seton.(Nang)