CyberTNI.id | Kamis 13 November 2025 — Inti dari moralitas kekuasaan adat dan kepemimpinan tradisional.Mari kita telaah dari perspektif antropologi, sejarah, dan etika kepemimpinan Kasultanan Jawa.
1. Makna Sejati Sultan dalam Tradisi Jawa
Dalam falsafah Jawa, seorang Sultan bukan sekadar penguasa, melainkan “Payung Agung” pelindung rakyat dan keluarganya.
Ada pepatah kuno yang menjadi dasar moral kepemimpinan di lingkungan Kraton:
“Manunggaling kawula lan gusti, sejatine ratu iku ngawula marang rakyat.”
(Bersatunya rakyat dan pemimpin; sejatinya raja adalah pelayan rakyatnya.)
Dalam pandangan antropologi Jawa, Sultan sejati tidak akan menghukum darah sendiri, kecuali bila terjadi pelanggaran moral yang amat berat.
Bila terjadi kesalahpahaman, penyelesaiannya ditempuh melalui rembug dalem (musyawarah internal keluarga), bukan melalui kriminalisasi.
Apabila seorang Sultan menggunakan kekuasaan hukum negara untuk memenjarakan saudara darah dalemnya, maka tindakan itu dipandang murtad secara budaya Jawa.
Hal tersebut berarti telah memutus tali paseduluran yang menjadi inti dari makna Kraton sebagai simbol harmoni semesta Hamemayu Hayuning Bawana.
2. Perspektif Antropologi Hukum
Antropologi hukum menegaskan bahwa:
“Hukum adat dan kekuasaan raja tidak boleh mencederai keseimbangan sosial keluarga, karena darah adalah simbol legitimasi moral.”
Dengan demikian, bila seorang Sultan menjerat saudaranya sendiri dengan instrumen hukum pidana — terlebih tanpa bukti kuat — maka tindakan itu bukan sekadar pelanggaran terhadap hukum positif, melainkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai budaya Kasultanan Jawa.
Dalam sistem kerajaan tradisional Jawa, perselisihan antar bangsawan diselesaikan melalui jalan spiritual dan musyawarah, seperti ngalap berkah leluhur atau ngruwat dosa keluarga, bukan melalui perkara pidana.
Sebab, kehormatan keluarga lebih tinggi nilainya daripada gengsi kekuasaan.
3. Tinjauan Sosiologi Hukum
Dari sudut pandang sosiologi hukum, tindakan menggunakan kekuasaan istimewa untuk menekan anggota keluarga sendiri mencerminkan penyalahgunaan struktur sosial yang seharusnya berfungsi menjaga keharmonisan.
Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa keistimewaan Yogyakarta telah kehilangan ruh kebudayaannya berubah dari feodalisme moralistik menjadi feodalisme legalistik.
Pertanyaan moral yang muncul pun tidak bisa dihindari:
“Layakkah disebut Daerah Istimewa bila keistimewaannya digunakan bukan untuk melindungi, melainkan untuk menghancurkan saudara sendiri?”
4. Nilai Adiluhung Kasultanan yang Seharusnya Dijaga
Dalam Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwono IV tertulis:
“Aja dumeh kuwasa, lali marang sedulur lan kawula.”
(Jangan karena berkuasa, lalu lupa kepada saudara dan rakyat kecil.)
Makna ajaran ini jelas: kekuasaan bukan alat pembalasan, melainkan amanah luhur dari Tuhan dan leluhur.
Apabila seorang Sultan menindas darahnya sendiri, maka “wahyu kedhaton” berkah spiritual dan legitimasi moral kerajaan dianggap telah pergi.
Sebab, kepemimpinan tanpa adab, asih, lan asuh bukan lagi kepemimpinan adiluhung, melainkan kekuasaan yang kehilangan arah.
5. Refleksi Kritis
Keistimewaan Jogja sejatinya bukan karena figur Sultan semata,
melainkan karena rakyatnya, budayanya, dan warisan moral leluhurnya.
Apabila keistimewaan itu dipakai untuk:
mengkriminalisasi saudara sendiri,
memutarbalikkan nilai-nilai leluhur,
serta menolak musyawarah adat,
maka Jogja kehilangan makna “istimewa”-nya tinggal nama tanpa jiwa, simbol tanpa nilai.
Kesimpulan
Seorang Sultan tidak layak disebut pemimpin adiluhung bila:
tidak mampu menjaga kehormatan darah dalemnya,
menggunakan hukum negara untuk menindas sesama trah,
serta mengabaikan nilai luhur adat dan welas asih.
Keadilan bukan semata pasal hukum, melainkan cermin nurani raja sebagai bapak rakyat dan penjaga warisan leluhur.
Ketika nurani itu mati, maka kekuasaan kehilangan moralitasnya dan adat kehilangan makna sucinya.
Pandangan Budaya Hukum LBH Sapu Jagad
“Keadilan tanpa welas asih bukanlah keadilan,
dan kekuasaan tanpa adab bukanlah kepemimpinan.”












